Tuesday, October 9, 2012

Efek Globalisasi Terhadap Remaja di Pedesaan yang Hampir Menjadi Kota

   Jonggol merupakan sebuah daerah di Kabupaten Bogor. Jonggol ini dahulu kala di zaman orde baru, pernah akan dijadikan ibu kota menggantikan Jakarta yang sudah padat. Kira-kira di era 90-an, tanah-tanah di Jonggol dibeli oleh orang-orang kaya dari Jakarta. Sayang sekali pada tahun 1998 Orde Baru runtuh. Jatuhnya Soeharto dari tampuk kepresidenan pun membuat rencana ini hilang ditelan bumi. Baru di era Presiden SBY, berita ini kembali mengemuka.
   Benar atau tidaknya, tidak ada yang tahu. Namun bila melihat banyaknya tanah-tanah yang dimiliki orang-orang Jakarta, rasanya itu bukan sekedar isu. Dan sekarang Jonggol pun sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Semenjak dibukanya jalan alternatif Cibubur, maka Cileungsi dan Jonggol melaju pesat dalam hal pembangunan.
   Namun kali ini saya ingin membahas tentang remaja-remaja yang tinggal disana. Karena pada suatu hari Minggu, ketika saya mengendarai motor ke daerah Jonggol, selama perjalanan saya tidak sekalipun menemukan remaja wanitanya yang memakai jilbab. Entahlah, apakah remaja-remaja yang menggunakan jilbab ini sedang beristirahat di dalam rumahnya. Namun tetap saja mengganggu pikiran saya kala itu.
   Jujur saja, perempuan-perempuan yang tinggal di Jonggol ini tidak kalah cantik-cantiknya dari perempuan-perempuan Bandung. Namun yang disayangkan, dandanan mereka melebihi sebagian besar penduduk ibukota. Dandanan yang menor dan pakaian yang agak terbuka menghiasi setiap jalanan di sana. Sampai-sampai mirip dengan dandanan para artis di televisi. Astagfirullah...
   Remaja putranya pun tidak kalah dengan remaja putri. Rumah mana yang tidak memiliki motor? Meskipun rumahnya gubuk, pasti ada motor yang terpajang di teras rumahnya.
   Ketika suatu hari saya sedang KKN di desa Cipenjo, Cileungsi. Saya sempat berkunjung di sebuah rumah warga. Mereka mulai bercerita tentang anak-anak di desa itu yang lebih memilih tidak sekolah, bila tidak dibelikan motor. Alhasil, sebagian warga rela menjual tanah mereka maupun sawah mereka demi anaknya.
   Entahlah, apakah ini memang yang sudah terjadi di daerah pinggir perkotaan. Di perkotaan saja saya masih melihat anak-anak remaja dengan jilbabnya. Tapi saya tidak melihat satupun didalam perjalanan saya dulu. Semoga saja banyak yang memakainya, namun kala itu sedang istirahat di rumah. Kalau ibu-ibu sih banyak.
   Apa arti dari semua ini? Ya, globalisasi di negara kita ini memang sudah kebablasan. Dan orang tua tidak dengan baik memagari anak-anaknya dalam memilih apa yang seharusnya diambil dari globalisasi ini. Yang baik diikuti, namun yang buruk lebih banyak diikuti daripada yang baik. Kalau disuruh menyebutkan apa saja efek globalisasi yang bermanfaat, mungkin kita akan berfikir lama dan menyebutnya tak lebih banyak dari efek negatif yang dihasilkannya.
   Akan jadi seperti apa nantinya bangsa kita? Yang saya takutkan, di masa tua saya nanti, sudah tidak ada lagi norma-norma agama yang dipatuhi, kebudayaan sudah hilang dari tanah Indonesia, kebudayaan hanya ada di televisi, pergaulan bebas merajalela, dan hilangnya adab ketimuran yang sudah sejak lama tertanam di setiap darah bangsa Indonesia.
   Semoga saja kita semua sadar dan memahami, bahwa pendidikan bukan hanya dari guru, orang tua, media dan lingkungan juga sangat berperan dalam mempengaruhi jalan berfikir anak. Guru sudah semaksimal mungkin mendidik mereka di sekolah, namun bila orang tua tidak mendukung, tak akan ada perubahan yang berarti.

  

Related Posts

Efek Globalisasi Terhadap Remaja di Pedesaan yang Hampir Menjadi Kota
4/ 5
Oleh

Berikan komentar anda..