Tuesday, January 31, 2012

Tuanku Tambusai

   Wah..kemarin di buku LKS kelas V ada soal tentang siapa penerus Tuanku Imam Bonjol dalam memimpin perang Paderi. Waah...di buku ga ada materinya, ada soalnya. Pilihannya (a)Tuanku Nan Renceh (b)lupa (c)Tuanku Sambose (d)lupa juga..hehe... Nah...waktu dicari di internet ga ada banget. Untung aja ketemu Tuanku Tambose (salah tulis tuh LKS)..tapi itu juga cuma satu..usut punya usut, ternyata nama sebenarnya adalah Tuanku Tambusai..Waahh..ternyata saya gak tahu..ckckk..Maka dari itu saya akan mengangkat dan menulis siapakah itu Tuanku Tambose/Tambusai


   Anda pasti tau perang Paderi kan?? Perang Paderi ini terjadi pada kawasan Kerajaan Pagaruyung antara tahun 1803 hingga 1838, sempat mereda tahun 1825 karena tentara Belanda mundur untuk menghadapi perang Diponegoro. Karena Belanda berfikir perang Diponegoro lebih penting ketimbang perang Paderi. Namun perang Paderi kembali berkecamuk tahun 1830. Peperangan ini dimulai dengan munculnya gerakan Kaum Paderi (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang ada dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung sekitarnya, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
   Akhirnya timbullah perang antara kaum Paderi dan kaum Adat. Awalnya kaum Adat kalah oleh kaum Paderi. Karena kalah, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Singkat cerita, Belanda menganggap kaum Adat telah menyerahkan kerajaan Pagaruyung pada Belanda. Akhirnya terjadilah perang Paderi antara kaum Paderi dengan kaum Adat yang dibantu Belanda. 
   Pertama kali, pasukan Paderi dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, kemudian Tuanku Imam Bonjol dan terakhir oleh Tuanku Tambusai sebelum akhirnya kalah.
   Tuanku Tambusai (lahir di Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784 – meninggal di Negeri Sembilan, Malaysia, 12 November 1882 pada umur 98 tahun) adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka. Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji, dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.
   Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.
   Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Tuanku Tambusai asalah salah seorang ulama yang berjuang mengislamkan masyarakat Batak. Gaya bahasanya yang santun, adab dan kepribadiannya yang lembut membuatnya mudah diterima oleh masyarakat kala itu.
   Upaya untuk mengislamkan masyartakat Batak berhasil dengan sukses. Orang-orang Batak yang awalnya sulit memeluk agama Islam akhirnya banyak yang masuk islam, padahal masyarakat Batak karakteristiknya keras dan sulit diatur. Tetapi berkat strategi dakwah yang santun akhirnya msayarakat Batak banyak yang bersedia masuk Islam.
   Orang-orang Batak yang beragama Islam adalah hasil dakwah dari Tuanku Tambusai, sedangkan yang beragama kristen itu adalah pengikut dan bekas kaki tangan Belanda. Meski demikian kedua agama itu saling hidup rukun sebagai rakyat Batak yang mencintai tanah kelahirannya.
   Di tengah-tengah Beliau berdakwah, terdengar kabar bahwa Tuanku Imam Bonjol memimpin perang melawan Belanda. Tuanku Tambusai tidak tinggal diam begitu saja, kemudian Beliau ikut berperaang melwan tentara Belanda dengan perjuangannya di mulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
   Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda beliau digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya. Ia mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 12 November 1882.
    Karena jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda, pada tahun 1995 pemerintah mengangkat beliau sebagai pahlawan nasional.

Semoga bermanfaat
Referensi : http://id.wikipedia.org/

Related Posts

Tuanku Tambusai
4/ 5
Oleh

Berikan komentar anda..